Soe Hok Gie: Menolak Lupa Jejak Sang Demonstran Idola Anak Muda
Hidupnya adalah perlawanan, tulisannya menantang kekuasaan, dan kepergiannya meninggalkan jejak yang abadi. Inilah kisah manusia yang tak pernah tunduk pada zaman.

Di antara kabut tipis yang menyelimuti puncak Semeru, nama Soe Hok Gie masih bergema. Ia adalah anak muda yang mencintai kebebasan, mendaki gunung untuk melarikan diri dari hiruk-pikuk politik dan tidak pernah berhenti bersuara menentang ketidakadilan.
Bagi Gie, dunia ini adalah perpaduan antara buku-buku yang membentuk pemikirannya, jalanan yang penuh demonstrasi, dan pegunungan yang memberinya ruang bernapas. Aktivis mahasiswa, pemikir bebas, dan pecinta alam—itulah tiga hal yang melekat erat pada namanya.
Ia tidak lahir sebagai pemberontak, tetapi kehidupan dan realitas sosial yang ia lihat membentuknya menjadi sosok aktivis yang tidak bisa diam. Di era penuh gejolak—ketika politik Indonesia berada dalam ketidakpastian—ia memilih untuk berdiri tegak, menuliskan kegelisahannya dalam lembaran kertas hingga buku-buku yang kelak menjadi warisan intelektual. Ia adalah suara yang lantang, pemikir yang gelisah, dan seorang pendaki—tragisnya, menemukan ajalnya di tempat yang paling dicintainya.
Masa Muda: Pencarian Jati Diri di Antara Buku dan Realitas
Lahir pada 17 Desember 1942 di Jakarta, Soe Hok Gie tumbuh dalam keluarga Tionghoa-Indonesia yang memberikan perhatian besar pada pendidikan. Ayahnya, Soe Lie Piet—seorang akademisi dan penulis—menanamkan nilai-nilai intelektualitas sejak dini.
Rumah mereka dipenuhi buku-buku berat, dari pemikiran Karl Marx hingga eksistensialisme Albert Camus yang kelak membentuk pemikirannya tentang kehidupan, keadilan, dan kebebasan individu.
Sejak kecil, Gie memiliki rasa ingin tahu yang luar biasa. Berbeda dengan anak-anak seusianya yang gemar bermain di luar rumah, ia lebih sering tenggelam dalam buku-buku sastra dan filsafat. Saat remaja, ia mulai menulis catatan harian—sebuah kebiasaan yang akhirnya menjadi saksi perjalanan hidupnya. Ia banyak membaca karya Pramoedya Ananta Toer yang memperkenalkannya pada penderitaan rakyat kecil, serta tulisan-tulisan George Orwell yang membentuk pandangannya tentang totalitarianisme.
Akan tetapi, semakin dalam ia menyelami dunia literatur, semakin besar pula kepekaannya terhadap realitas di sekitarnya. Ia melihat kesenjangan sosial yang mencolok antara elite politik dan rakyat kecil. Setiap hari, ia menyaksikan bagaimana penguasa berbicara tentang kesejahteraan, tetapi kaum miskin tetap terpinggirkan. Ia juga menyadari bahwa diskriminasi terhadap etnis Tionghoa masih sangat kuat di Indonesia walaupun negara ini mengklaim dirinya sebagai bangsa yang berlandaskan persatuan dan kesetaraan.
Di SMA Kanisius, Gie mulai menunjukkan karakter khasnya: kritis, berani, dan tidak mudah terpengaruh oleh dogma. Guru-gurunya mengenalnya sebagai siswa yang cerdas, tetapi juga keras kepala dalam mempertahankan pendapatnya. Diskusi-diskusi di kelas sering kali berubah menjadi perdebatan panas ketika ia mempertanyakan kebijakan pemerintah atau sistem pendidikan yang dianggapnya usang.
Ketika melanjutkan studi di Universitas Indonesia, jurusan Sejarah menjadi pilihannya bukan karena ia ingin sekadar menghafal peristiwa masa lalu, tetapi karena ia ingin memahami bagaimana sejarah ditulis; siapa yang menulisnya dan siapa yang mencoba menghapusnya. Baginya, sejarah bukan sekadar catatan, melainkan arena pertarungan antara mereka yang ingin mengingat dan mereka yang ingin melupakan.
Semasa kuliah, ia semakin sering terlibat dalam diskusi-diskusi intelektual dan mengorganisasikan gerakan mahasiswa. Ia membaca lebih banyak buku, menulis lebih banyak artikel dan mulai membangun reputasi sebagai pemikir muda yang tajam. Kritiknya terhadap sistem politik semakin berani dan tulisannya semakin lantang menantang status quo. Sejak saat itu, ia tidak hanya menjadi mahasiswa sejarah, tetapi juga menjadi bagian dari sejarah yang ia perjuangkan.
Suara Perlawanan di Tengah Kegelapan Politik
Tahun 1960-an adalah era gejolak bagi Indonesia. Ketegangan antara kelompok kiri dan kanan semakin meruncing juga Presiden Soekarno menghadapi tantangan dari berbagai arah. Di tengah situasi ini, Soe Hok Gie muncul sebagai suara lantang yang mengkritik kebobrokan elite politik saat itu.
Perlawanan Soe Hok Gie terhadap rezim yang berkuasa bukanlah tanpa risiko. Penguasa militer yang semakin menancapkan kukunya usai peristiwa G30S 1965 membuat kehidupan para aktivis semakin sulit. Gie menyaksikan banyak kawannya menghilang, beberapa dipenjara, sementara yang lain memilih diam demi keselamatan diri.
Akan tetapi, ia tetap teguh pada pendiriannya. Di setiap artikel dan esainya, Gie terus menyoroti ketidakadilan. Baginya, menulis adalah satu-satunya cara melawan lupa. Ia yakin bahwa tanpa rekaman sejarah yang jujur, bangsa ini hanya akan jatuh ke dalam siklus penindasan yang sama.
Tidak jarang ia mendapat ancaman. Tulisan-tulisannya dianggap mengganggu stabilitas negara. Tetapi ketakutan tidak pernah menjadi bagian dari dirinya. Ia lebih takut melihat rakyatnya hidup dalam kebohongan daripada menerima risiko dari perjuangannya.
Melalui tulisan-tulisan tajamnya di berbagai media, ia membongkar kepalsuan para pemimpin yang berpura-pura membela rakyat. Ia tidak segan menyebut Soekarno sebagai penguasa yang semakin otoriter, sementara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan militer saling berebut pengaruh. Gie tidak berpihak pada siapa pun dan justru itu yang membuatnya berbahaya. Ia menulis bukan untuk kepentingan kelompok, tetapi untuk rakyat yang selama ini dibungkam.
“Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan,” tulisnya dalam catatan hariannya, sebuah kutipan yang kini menjadi mantra bagi banyak aktivis muda.
Demonstrasi, Gunung, dan Akhir yang Tragis
Bagi seorang Soe Ho Gie, membaca dan menulis saja tidak cukup. Ia percaya bahwa intelektualitas harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Oleh karena itu, ia turun ke jalan dan menjadi salah satu tokoh mahasiswa yang paling vokal dalam menentang kebijakan pemerintah yang dianggapnya menindas.
Demonstrasi bagi Gie bukan hanya aksi simbolis. Ia mengorganisasikan gerakan mahasiswa dengan strategi yang matang, mendorong kawan-kawannya untuk berpikir dan bertindak berdasarkan prinsip, bukan sekadar ikut arus. Dalam banyak aksi, ia berdiri di garis depan, berbicara dengan lantang tentang ketidakadilan, korupsi, dan kemunafikan para pemimpin.
Akan tetapi, demonstrasi juga membawa konsekuensi. Ia sering mendapat ancaman, diawasi oleh aparat, dan bahkan dijauhi oleh beberapa kawan yang takut akan dampak politik dari kedekatan dengan dirinya. Meski begitu, ia tetap teguh.
Kehidupan aktivisme yang penuh tekanan sering kali membuatnya mencari pelarian. Menurut Gie, tidak ada tempat yang lebih damai daripada puncak gunung.
Sejak kuliah, ia sering mendaki gunung bersama kawan-kawannya. Ia menyukai Semeru dan Pangrango. Di sana, ia menemukan ketenangan yang tidak bisa ia dapatkan di kota. Gie sering menulis refleksi tentang kehidupan saat berada di ketinggian, di mana udara lebih bersih dan pikirannya lebih jernih.
Di puncak gunung, Gie merasa bebas. Tidak ada propaganda, tidak ada politik kotor, tidak ada kemunafikan. Hanya ada langit luas, udara dingin, dan ketenangan yang memberi ruang bagi pikirannya untuk mengembara. Ia sering mengatakan bahwa mendaki gunung adalah cara untuk menemukan kembali dirinya sendiri setelah lelah berhadapan dengan dunia yang penuh intrik.
Tragisnya, gunung yang memberinya ketenangan juga menjadi tempat ia menghembuskan napas terakhir. Pada 16 Desember 1969, sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27, Gie bersama rekannya Idhan Lubis mendaki Semeru. Mereka tak tahu bahwa perjalanan ini akan menjadi perjalanan terakhir mereka. Gas beracun di puncak Mahameru merenggut nyawa mereka dalam sunyi. Ia pergi terlalu cepat, meninggalkan dunia yang belum selesai ia kritik dan ubah.
Kabar kematiannya menyebar cepat, meninggalkan duka yang mendalam bagi banyak orang. Bukan hanya sahabat dan keluarga, tetapi juga para mahasiswa, kaum intelektual dan mereka yang selama ini menjadikan Gie sebagai simbol keberanian.
Meski telah tiada, pemikiran Soe Hok Gie terus hidup. Buku Catatan Seorang Demonstran menjadi saksi bisu perjuangannya, menginspirasi generasi demi generasi. Dalam setiap mahasiswa yang berani melawan ketidakadilan, dalam setiap anak muda yang tidak mau tunduk pada sistem yang korup, semangat Gie masih menyala.
Pada akhirnya, Gie mungkin sudah pergi, tetapi di setiap napas para pendaki yang menapaki jalur menuju Mahameru, di setiap halaman buku yang menceritakan perjuangannya, dan di setiap suara lantang yang menuntut kebenaran, ia masih ada.
Soe Hok Gie tidak hanya mencatat sejarah. Ia adalah bagian dari sejarah itu sendiri. Dan di antara kabut puncak Semeru, namanya akan terus dibisikkan oleh angin—tak lekang oleh waktu.