Skip to content

Benarkah RUU TNI Jalan Pulang bagi Dwifungsi ABRI?

TNI kembali ke barak, ASN jangan malah masuk barak juga.

Getting your Trinity Audio player ready...

Wacana revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) kembali menjadi bola panas di ruang publik. Alih-alih hanya sekadar penyempurnaan aturan, draf revisi ini justru memantik kekhawatiran baru: kembalinya bayang-bayang Dwifungsi ABRI, sebuah konsep yang di masa lalu memberikan privillege untuk militer—pertahanan dan politik.

Pemerintah, anggota Komisi I DPR, dan politisi pendukung RUU TNI berargumen bahwa perubahan ini diperlukan untuk memperkuat peran TNI dalam menghadapi tantangan zaman, termasuk ancaman non-militer seperti siber dan bencana alam.

Akan tetapi, kritik datang dari berbagai pihak, termasuk aktivis sipil dan akademisi yang menilai bahwa pasal-pasal dalam RUU ini justru bisa membuka ruang bagi militer kembali masuk ke ranah sipil. Sebuah langkah mundur dari reformasi 1998 yang dengan susah payah memisahkan militer dari politik.

Dari aspek historis hingga kepentingan politik hari ini, pertanyaannya tetap sama: benarkah RUU TNI ini sekadar penyempurnaan atau justru jalan pulang bagi Dwifungsi ABRI?

Dwifungsi ABRI dalam Sejarah Indonesia

Dwifungsi ABRI itu bukan sekadar ‘omon-omon’, tapi realitas politik yang pernah membentuk Indonesia selama lebih dari tiga dekade. Konsep ini pertama kali menguat di era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, di mana ABRI—sekarang TNI dan Polri—tidak hanya bertanggung jawab atas pertahanan negara, tetapi juga diberi peran aktif dalam pemerintahan dan politik.

Hasilnya? Militer tidak hanya berada di barak, tetapi juga di parlemen, birokrasi hingga dunia bisnis. Toh, Bapak-bapak yang saat ini di Senayan pasti ingat rasanya sepatu lars ABRI dulu kan.

Legitimasi Dwifungsi ABRI berakar pada doktrin bahwa militer memiliki ‘fungsi sosial-politik’, sebuah narasi yang diperkuat dengan dalih stabilitas nasional.

Kursi-kursi di DPR otomatis diisi oleh perwakilan militer, perwira-perwira aktif menduduki posisi strategis di pemerintahan daerah, dan siapa pun yang menentang kepentingan rezim akan berhadapan langsung dengan aparatur negara yang represif.

Di atas kertas, konsep ini diklaim sebagai solusi agar militer tetap bisa ‘mengabdi’ di luar peran tempurnya. Namun, praktiknya? Indonesia menyaksikan bagaimana militer menjadi alat kekuasaan yang menghambat demokratisasi, menekan oposisi, dan menciptakan budaya impunitas yang bertahan hingga hari ini.

Reformasi 1998 akhirnya menuntut pemisahan militer dari politik, membubarkan fraksi ABRI di parlemen, serta menghapus peran militer di ranah sipil.

Kini, dengan RUU TNI yang membuka peluang prajurit aktif menduduki jabatan sipil, apakah kita memang bangsa yang senang mencintai masa lalu?

Pasal-pasal Kontroversial dalam RUU TNI

Kalau ditelusuri, draf revisi UU TNI ini sebenarnya menyimpan banyak hal menarik—atau mengkhawatirkan, tergantung dari sisi mana kita melihatnya.

Salah satu yang paling bikin gaduh adalah rencana memperluas jabatan bagi prajurit aktif di institusi sipil. Tentu ini bukan cuma soal membuka lebih banyak kesempatan karier bagi anggota TNI, tapi soal bagaimana batas antara militer dan sipil jadi semakin kabur.

Dalam rancangan ini, TNI bisa ditempatkan di kementerian, BUMN hingga pemerintahan daerah. Pendukungnya berargumen bahwa ini adalah solusi bagi perwira yang sudah mengabdi lama, tapi minim jenjang karier.

Namun, kritiknya jelas: RUU TNI ini membuka pintu bagi intervensi militer dalam urusan sipil, sesuatu yang dulu dengan susah payah dicabut lewat reformasi.

Imparsial bahkan mencatat bahwa saat ini saja ada sekitar 2.500 prajurit aktif yang sudah menduduki jabatan sipil. Bayangkan, jika RUU ini lolos. Bukannya reformasi, kita malah berlari mundur ke masa di mana tentara mengatur segala lini pemerintahan.

Tempo.co juga melaporkan bagaimana Prabowo mendorong penempatan perwira aktif di BUMN. Pertanyaannya, apakah ini tentang kesejahteraan prajurit atau justru pembentukan kembali struktur lama yang pernah dikecam, Jenderal?

Selain itu, ada juga usulan untuk memperluas wewenang TNI dalam mengatasi ancaman non-militer, termasuk di sektor ekonomi dan sosial. Kedengarannya patriotik, tapi juga mengundang pertanyaan: sampai sejauh mana peran militer dalam urusan sipil?

Jika pasal ini disahkan, maka bukan tidak mungkin TNI semakin banyak terlibat dalam kebijakan domestik, bahkan mungkin tanpa mekanisme pengawasan yang jelas.

Pada akhirnya, yang dipermasalahkan bukan sekadar pasal-pasal dalam RUU ini, tetapi dampaknya terhadap demokrasi dan profesionalisme militer.

Reformasi 1998 menggariskan bahwa TNI harus netral dan fokus pada pertahanan negara. Dengan revisi ini, apakah kita sedang menyaksikan babak baru dari kembalinya Dwifungsi ABRI, hanya dengan kemasan yang lebih modern?

Ancaman terhadap Reformasi dan Supremasi Sipil

Reformasi 1998 bukan cuma soal menggulingkan Soeharto. Reformasi itu adalah titik balik yang mengubah peta politik Indonesia, termasuk menata ulang relasi sipil-militer.

Salah satu pencapaian terbesarnya adalah menghapus Dwifungsi ABRI, menarik militer dari ranah politik, dan memastikan supremasi sipil dalam pemerintahan. Sekarang, RUU TNI yang sedang dibahas justru membuka kembali celah bagi kembalinya pengaruh militer dalam birokrasi sipil.

RUU ini memberi ruang lebih luas bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil, sesuatu yang jelas bertentangan dengan semangat reformasi.

Kalau pasal-pasal ini lolos, bukan tidak mungkin kita melihat lagi tentara aktif duduk di posisi-posisi strategis di pemerintahan—sesuatu yang sudah kita kubur sejak lebih dari dua dekade lalu.

Yang perlu diingat, supremasi sipil bukan berarti melemahkan militer. Justru ini soal menegaskan batasan. TNI punya tugas utama; pertahanan negara. Pemerintahan sipil punya tugasnya sendiri; mengelola negara. Kalau batasan ini dikaburkan, kita seperti menekan tombol replay ke era ketika segala aspek kehidupan dikendalikan oleh militer.

Ketakutan terbesar bukan hanya soal posisi jabatan. Begitu jalur ini terbuka, pengaruh militer bisa merembes ke berbagai aspek pemerintahan—dari pengambilan kebijakan, alokasi anggaran, hingga kontrol terhadap masyarakat sipil.

Kita sudah melihat bagaimana pengaruh militer di era Orde Baru membuat kritik dibungkam, kebebasan sipil dipangkas, dan demokrasi hanya menjadi pajangan. Apakah kita benar-benar ingin kembali ke situ?

Lebih dari itu, jika prajurit aktif terus masuk ke birokrasi sipil, profesionalisme TNI sendiri yang dipertaruhkan. Tentara seharusnya fokus pada pertahanan dan keamanan, bukan malah sibuk mengurusi administrasi dan politik.

Alih-alih memperkuat negara, hal seperti ini justru bisa melemahkan dua pilar sekaligus; TNI jadi kurang fokus dalam menjaga pertahanan, sementara birokrasi sipil kehilangan independensinya.

RUU TNI bukan sekadar regulasi teknis. Ini juga ujian bagi komitmen kita terhadap reformasi dan demokrasi. Apakah kita ingin maju dengan sistem yang lebih demokratis dan profesional? Atau kita memilih mundur ke masa ketika seragam militer punya hak istimewa atas jabatan sipil?

Jika supremasi sipil dikaburkan dan TNI kembali bercokol dalam birokrasi, maka demokrasi kita sedang dalam bahaya. Revisi boleh dilakukan, tapi tanpa prinsip profesionalisme dan pengawasan ketat, RUU TNI ini lebih mirip jalan pulang bagi Dwifungsi ABRI yang seharusnya sudah kita tinggalkan.

Ryas Ramzi
Ryas Ramzi

Sering menepi di sudut-sudut kota untuk memproduksi ide yang enggak seberapa itu.