Skip to content

Ade Armando dan Pentingnya Etika Komunikasi

Kasus pengeroyokan ini menjadi bukti pentingnya etika komunikasi di ruang publik.

Kejadian pengeroyokan yang menimpa Ade Armando dalam aksi demonstrasi yang berlangsung pada Senin, 11 April 2022 di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menjadi sebuah pembelajaran bahwa etika komunikasi mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat.

Padahal, Ade Armando yang hadir pada saat itu memiliki pandangan yang sama dengan salah satu tuntutan dari massa aksi, yaitu tidak sepakat dengan perpanjangan periodesasi jabatan presiden. Akan tetapi, massa aksi justru mempertanyakan peran Ade yang notabene pro-rezim tiba-tiba hadir dengan aspirasi yang kontra dengan rezim hingga berujung pada pengeroyokan.

Pegiat media sosial dan dosen Universitas Indonesia yag menjadi bulan-bulanan massa aksi tersebut menjadi contoh bahwa setajam apapun validasi kebenaran dari argumentasi yang dikeluarkan oleh seseorang akan menghasilkan feedback yang buruk dari orang lain karena faktor ethos atau integritas.

Bagaimana ethos menjadi variabel yang penting dan relevan dalam keberhasilan komunikasi? Apakah hanya karena buruknya integritas seseorang, kita boleh melakukan kekerasan? Apakah etika membatasi prinsip kebebasan berpendapat?

Melihat Ade Armando dari teori retorika Aristoteles

Dalam diskursus etika komunikasi, ada konsepsi retorika yang menarik dari Aristoteles. Teori retorika yang digagas olehnya terbagi menjadi tiga instrumen; Ethos, logos, dan pathos. Meski gagasan ini lahir berabad-abad silam, tapi gagasan dari Aristoteles ini tidak lekang oleh waktu dan masih relevan dengan kondisi saat ini. Izinkan saya membahas Ade Armando dengan framework retorika Aristoteles.

Pertama, Ethos. Ethos adalah kekuatan moral atau integritas seseorang atau pembicara dalam membangun komunikasi dengan orang lain. Aristoteles percaya, jika seseorang mempunyai ethos yang bagus, maka probabilitas keberhasilan komunikasi jauh lebih tinggi ketimbang seseorang yang integritasnya diragukan.

Dalam hal ini, Ade Armando memang terlihat memiliki pemikiran yang anti-mainstream dan eksentrik ketika mengemukakan argumentasinya di ruang publik, bahkan beberapa kali menimbulkan kontroversi yang berujung pada pelaporan ke pihak berwajib. Sehingga persepsi masyarakat yang sudah terbentuk dan mendarah daging terhadap Ade menjadi buruk.

Ade Armando paham betul bahwasanya instrumen ini merupakan fondasi dalam berkomunikasi dan berhubungan dengan masyarakat. Ia sendiri yang mengklaim bahwasanya memiliki masalah etika dan integritas. Ade bahkan beranggapan bahwa lebih baik tidak menjadi profesor ketimbang mengubah gaya komunikasinya.

Saya setuju dengan prinsip Ade, tetapi ia harus sadar bahwa kita tinggal di Indonesia yang kental dengan kultur ketimuran. Segala tindak-tanduk berada di puncak hierarki dan menjadi standar kebenaran ketimbang fakta dan kekuatan argumentasi. Oleh karena itu, masyarakat tidak akan percaya dan puncak amarah mereka lampiaskan dalam bentuk kekerasan.

Apalagi, Ade Armando selama ini dikenal vokal dalam menyerang masyarakat yang mengkritisi pemerintahan Jokowi hingga dilabeli buzzer. Saya menilai dengan adanya perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar dan manifestasi sehatnya demokrasi. Akan tetapi, tidak semua masyakarat memiliki pemikiran yang seragam. Tidak semua masyakarat setuju dengan prinsip saya atau Ade Armando.

Bayangkan, orang yang selama ini memiliki prinsip dan pandangan yang anti-mainstream di luar pendapat umum yang dianut. Tiba-tiba hadir satu barisan dengan kelompok yang berseberangan, bak pahlawan dengan dalih ingin menyuarakan suaranya—tidak sepakat dengan perpanjangan periodesasi presiden—kepada pemerintah. Tentu, timbul beragam asumsi negatif di masyarakat. Dalam konteks ini, para massa aksi.

Konsekuensi yang didapat oleh Ade adalah sumpah serapah di lokasi. “Munafik”, “Penghianat”, “Buzzer” dan segala macam kata gantinya dilemparkan ke Ade. Saya kira ini merupakan hal yang wajar, tetapi saya sangat tidak setuju dengan tindak kekerasan yang menimpa Ade dan siapapun. Hanya karena seseorang memiliki ethos yang buruk dengan pendapat yang berbeda dan suatu ketika satu persepsi dan satu baris tidak lantas halal untuk dipersekusi.

Kedua, Logos. Logos adalah bukti-bukti logis yang disampaikan oleh pembicara dengan menerapkan kaidah-kaidah logika; induktif-deduktif. Instrumen ini berkaitan dengan pengetahuan seorang pembicara dalam mengkomunikasikan sebuah pesan kepada orang lain.

Ketiga, Pathos. Pathos adalah ikatan emosional antara pembicara dengan audiens. Gaya komunikasi yang memberikan beragam respon dari audiens terhadap pesan yang disampaikan oleh seorang pembicara.

Dari kedua instrumen ini, saya melihat bahwa Ade Armando cukup mumpuni, tapi memang yang menjadi kelemahannya pada ethos. Bicara Logos, ia adalah orang yang memiliki fondasi logika yang kuat, tapi yang saya sesalkan adalah ketika ia mencoba menggiring opini dengan adanya friksi pada Aliansi BEM alih-alih memberikan penjelasan yang subtantif dari isu yang akan ia bawa.

Sedangkan untuk instrumen pathos, saya menilai bahwa setiap orang tentu memiliki gaya komunikasinya sendiri dalam membangun ikatan emosional dengan lawan bicara. Soekarno sering telihat berapi-api ketika berpidato, Ade Armando memilih nada datar, tapi dengan satire dan membuat lawan bicara geleng-geleng kepala.

Ketiga instrumen dari teori retorika Aristoteles ini yang akan menentukan keberhasilan komunikasi.

Kebebasan berpendapat

Salah satu dasar komunikasi adalah adanya hak-hak tiap individu untuk mengekspresikan pendapatnya meskipun pandangannya berbeda dengan mayoritas. Kita tidak boleh melarang seseorang untuk berpendapat hanya karena latar belakangnya. Apalagi, memilih tindak kekerasan sebagai jalan akhir.

Saya teringat perkataan salah satu dosen mengenai Goenawan Moehamad. Ketika itu beliau memberikan tugas untuk merangkum buku dari GM, “Seandainya Saya Wartawan Tempo”. Saya menentang keras dosen tersebut karena pandangan politik dari GM yang berbeda dengan saya. Lantas, dosen saya mengatakan bahwa jangan hanya karena perbedaan pandangan politik, menutup mata saya untuk melihat kredibilitas GM dalam jurnalisme. Saya sadar bahwa kita tidak bisa melarang seseorang untuk memilih jalan yang berbeda dengan kita dan tidak menutup segala kemungkinan dari keahlian seseorang.

Voltaire mengatakan bahwa meskipun tidak setuju dengan pendapat seseorang, ia akan memberikan seluruh hidupnya demi hak seseorang untuk mengekspresikannya. Noam Chomsky juga memberikan pendapatnya mengenai kebebasan berpendapat bahwa jika kita percaya kebebasan berpendapat dari orang yang kita benci, kita hanya setengah-setengah dalam menerapkan kebebasan berpendapat.

Saya melihat bahwa masyarakat kita masih terjebak di lingkaran standar ganda kebebasan berpendapat. Bukan hanya pada kejadian yang menimpa Ade Armando, tetapi hampir di spektrum yang menyangkut komunikasi dan hubungan dengan manusia lain. Masyarakat kita hanya akan setuju dengan orang yang sepemikiran.

Terakhir, saya tutup dengan Habermas bahwa masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik lewat revolusi kekerasan, melainkan dengan argumentasi demi tercapai kesepakatan. Tidak terbatas pada perbedaan dan latar belakang, semua orang tidak boleh melakukan kekerasan sebagai bentuk komunikasi.

**Catatan: Artikel ini sudah pernah tayang di Qureta pada 19 April 2022**

Ryas Ramzi
Ryas Ramzi

Sering menepi di sudut-sudut kota untuk memproduksi ide yang enggak seberapa itu.

guest
0 Comments
Terlama
Terbaru Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments