Kapolres Ngada dan Deretan Kasus Asusila Polisi
Dari waktu ke waktu, skandal asusila di kepolisian terus terulang. Jika selalu dianggap 'oknum', kapan institusi ini benar-benar berbenah? Atau memang sudah terlalu nyaman dengan kultur impunitas; sidang etik?

Kasus pencabulan yang dilakukan oleh Kapolres Ngada terhadap anak di bawah umur kembali menambah daftar panjang skandal asusila di tubuh kepolisian. Kasus ini bukanlah kasus pertama dan mungkin bukan yang terakhir.
Tiap kali publik dibuat geram, skenarionya selalu mirip: pelaku disebut sebagai ‘oknum’, Polri berjanji akan menindak tegas, lalu kasus perlahan menghilang dari pemberitaan hingga ada kasus baru yang muncul lagi.
Kita sudah sering melihat pola ini. Brigadir Polri mencabuli anak panti asuhan di Belitung, pemerkosaan tahanan perempuan di Makassar hingga polisi yang mencabuli anak tirinya sendiri di Surabaya.
Daftar ini terus bertambah, tapi yang berubah hanya nama pelaku dan lokasi kejadiannya. Sedangkan, institusi pelaku tetap sama.
Pertanyaannya: jika ini hanya ‘oknum’, kenapa jumlahnya begitu banyak? Kalau memang serius memberantas kasus asusila di internal kepolisian, kenapa kejadian serupa terus berulang?
Jawaban yang biasa diberikan institusi kepolisian terkesan template usang: semua akan diproses sesuai hukum yang berlaku. Namun, publik bukan lagi penonton pasif yang mudah diyakinkan dengan janji-janji penegakan hukum.
Hari ini, di mana kasus-kasus lebih mudah terungkap dan viral di lini masa media sosial, kepercayaan terhadap kepolisian sedang diuji habis-habisan.
Jika aparat yang seharusnya melindungi justru menjadi bagian dari ‘predator’ itu sendiri, lalu ke mana lagi masyarakat harus mencari perlindungan?
Deretan Kasus Asusila di Tubuh Kepolisian
Kasus yang menjerat Kapolres Ngada bukanlah sekadar kasus tunggal. Kejadian ini seperti bagian dari pola tak berujung yang menunjukkan bahwa kekerasan seksual di tubuh kepolisian bukan masalah individu semata, melainkan cerminan dari sistem yang lemah dalam mencegah dan menindak pelanggaran semacam ini.
Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja diduga mencabuli seorang anak berusia 6 tahun. Kasus ini muncul di tengah sorotan terhadap berbagai pelanggaran asusila lain yang melibatkan aparat kepolisian.
Sebelumnya, ada kasus Brigadir Polri Achmal Subakti di Belitung yang mencabuli anak panti asuhan pada (10/07/2024). Ironisnya, korban yang awalnya hendak melaporkan kasus kekerasan seksual ke Polsek Tanjung Pandan, justru menjadi korban kebiadaban ‘predator’ kedua kalinya.
Ada lagi seorang anggota Polri Aipda K di Surabaya yang ditangkap karena mencabuli anak tirinya dari korban duduk di kelas 5 SD hingga kelas 9 SMP dan kasus pelecehan seksual tahanan perempuan oleh polisi di Makassar.
Melihat daftar kasus ini, sulit untuk tetap percaya bahwa setiap kejadian hanyalah ulah ‘oknum’. Jika masalahnya memang hanya individu tertentu yang menyalahgunakan wewenang, seharusnya kasus seperti ini jarang terjadi. Namun, kenyataannya, jumlahnya terus bertambah.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat setidaknya ada 18 kasus kekerasan seksual yang melibatkan anggota kepolisian hanya dalam periode Juli 2021 hingga Juni 2022.
Data ini tentu hanya mencerminkan kasus yang terungkap, sementara banyak kasus lain kemungkinan tidak pernah sampai ke publik karena tekanan dan relasi kuasa yang timpang antara korban dan pelaku.
Hal yang lebih ironis bahwa institusi yang seharusnya menjadi pelindung justru sering kali abai dalam menindak tegas pelaku di dalam tubuh mereka sendiri. Tidak jarang, kasus-kasus ini baru mendapatkan perhatian serius setelah viral di media sosial atau mendapat sorotan luas dari publik.
Polisi memang kerap berjanji akan menindak tegas anggotanya yang terlibat kasus asusila. Namun, publik berhak skeptis. Apakah ini sekadar respons reaktif untuk meredam kemarahan publik atau ada langkah nyata untuk memastikan agar kasus serupa tidak terulang?
Karena kalau hanya berbicara soal ‘oknum’, sudah terlalu banyak ‘oknum’ yang melakukan kejahatan serupa. Jika jumlahnya terus bertambah, bukankah itu berarti ada sesuatu yang salah di dalam sistemnya?
Evaluasi Kepolisian?
Kapolri kerap menegaskan komitmen untuk membenahi institusi Polri, tetapi realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Dari kasus pemerkosaan oleh Kapolres Ngada hingga berbagai pelanggaran serupa sebelumnya, sulit mengabaikan pola berulang: kepolisian tidak hanya gagal mencegah, tetapi juga seringkali lambat dalam menindak anggotanya sendiri.
Dalam banyak kasus, sanksi yang diberikan juga tak selalu setimpal dengan kejahatan yang dilakukan. Pemecatan mungkin terdengar tegas di atas kertas, tetapi itu tidak menghilangkan trauma korban dan hilangnya kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
Seberapa jauh evaluasi di kepolisian bisa berjalan jika akuntabilitas internalnya masih lemah dan budaya impunitas tetap mengakar?
Masalahnya bukan hanya soal individu—jelas ini merupakan persoalan sistematis. Jika kasus seperti ini terus berulang, maka akar masalahnya tidak bisa hanya diselesaikan dengan konferensi pers atau tindakan reaktif setiap kali skandal terjadi.
Evaluasi di kepolisian yang ideal seharusnya tidak hanya bicara soal peningkatan profesionalisme, tetapi juga perubahan dalam sistem pengawasan dan mekanisme penegakan hukum terhadap anggotanya sendiri.
Apakah ada lembaga independen yang benar-benar mampu mengawasi kepolisian secara efektif? Bagaimana jaminan perlindungan bagi korban yang melaporkan kekerasan seksual oleh aparat?
Pernyataan ‘oknam-oknum’ sudah menjadi barang usang dan tidak bisa dijadikan alasan lagi. Ketika kasus demi kasus terus bermunculan, yang perlu dipertanyakan adalah apakah sistem yang ada memungkinkan pelanggaran ini terus terjadi tanpa konsekuensi yang nyata.
Jika evaluasi kepolisian masih sebatas wacana tanpa perubahan mendasar, maka kasus seperti Kapolres Ngada bukan yang terakhir—dan kepercayaan publik terhadap institusi yang seharusnya melindungi mereka akan semakin runtuh.
Kepercayaan publik terhadap kepolisian selalu dan selamanya diuji. Pertanyaannya, apakah institusi ini berani berbenah atau justru terus membiarkan budaya impunitas ‘oknam-oknum’ bagi ‘predator’ berkembang?
Jika jawaban yang terakhir yang terjadi, maka jangan heran jika masyarakat semakin enggan percaya pada hukum—karena mereka tahu, bahkan penegak hukumnya pun bisa melanggarnya.