Skip to content

Bagaimana Seorang Komedian Menghadapi Komunikasi Politik Agresif Trump?

Dari panggung komedi ke ruang diplomasi, Zelensky menghadapi ujian komunikasi terbesarnya terutama dalam masa perang. Berhadapan dengan Trump yang agresif, ia harus menavigasi tekanan politik tanpa kehilangan identitasnya.

Kita pasti sering melihat adegan pemimpin dunia duduk berdampingan dalam konferensi pers, saling berjabat tangan, tersenyum di depan kamera—seolah semuanya baik-baik saja.

Akan tetapi, pertemuan antara Donald Trump dan Volodymyr Zelensky di Ruang Oval justru menjadi panggung pertunjukan lain; bukan negosiasi, melainkan adu tensi yang akhirnya berujung pengusiran.

Alih-alih membahas strategi geopolitik dengan kepala dingin, pertemuan ini lebih mirip episode drama politik yang layak masuk dalam skenario serial TV House of Cards.

Trump yang terbiasa mendominasi percakapan dengan retorika provokatif, bertemu dengan Zelensky yang lebih mengandalkan humor dan empati dalam pendekatan komunikasinya.

Dalam pertempuran ini, siapa yang lebih unggul? Bagaimana narasi yang dibangun kedua pemimpin ini memengaruhi persepsi dunia?

Dari Panggung Komedi ke Panggung Diplomasi

Zelensky bukanlah politisi konvensional. Sebelum menjabat sebagai presiden Ukraina, ia adalah seorang komedian dan aktor yang sering berperan sebagai pemimpin negara dalam sketsa satirnya.

Latar belakang ini membentuk gaya komunikasinya yang khas: lebih bersahabat, naratif, dan sering menggunakan humor untuk meredakan ketegangan. Pendekatan ini cukup efektif di dalam negeri, di mana rakyat Ukraina melihatnya sebagai sosok yang dekat dan relatable.

Akan tetapi, panggung diplomasi adalah arena yang berbeda. Dalam menghadapi pemimpin dunia yang terbiasa dengan retorika kekuasaan, Zelensky tidak bisa hanya mengandalkan storytelling dan empati. Apalagi menghadapi komunikasi politik agresif Trump.

Donald Trump adalah contoh nyata dari gaya komunikasi yang konfrontatif dan penuh dominasi. Sebagai mantan pebisnis dan bintang reality show, Trump memahami cara mengontrol narasi dengan teknik disruption—menginterupsi, menyerang, dan membingkai ulang percakapan sesuai dengan kepentingannya.

Ia tidak hanya berbicara untuk menyampaikan pesan, tetapi juga untuk mendikte arah diskusi dan membangun citra dirinya sebagai pemimpin yang kuat. Ditambah lagi wakilnya, JD Vance berulang kali mencecar Zelensky karena sikapnya terhadap Amerika.

Misalnya, dalam pertemuan dengan Zelensky tersebut, Trump tidak ragu untuk menggunakan taktik ini. Ia mengajukan pernyataan yang menekan, menuntut jawaban cepat, dan memanfaatkan gestur serta nada suara yang menunjukkan superioritas.

Hal seperti ini merupakan bagian dari strategi komunikasi kekuasaan yang dijelaskan oleh Michel Foucault, di mana bahasa menjadi alat dominasi, bukan sekadar sarana berbagi informasi.

Mengapa Zelensky Kesulitan Menghadapi Trump?

Dalam teori Framing yang dikembangkan oleh Erving Goffman, cara seseorang membingkai percakapan menentukan bagaimana pesan tersebut diterima oleh audiens.

Trump membingkai pertemuan ini sebagai ujian loyalitas: apakah Zelensky berpihak pada Amerika atau tidak? Di sisi lain, Zelensky berusaha membingkai dirinya sebagai pemimpin yang membutuhkan dukungan, tetapi tanpa terlihat lemah.

Namun, perbedaan ini menciptakan ketimpangan komunikasi. Trump menuntut jawaban langsung, sementara Zelensky lebih memilih respons diplomatis.

Trump menggunakan teknik komunikasi transaksional—di mana setiap pernyataan harus menghasilkan keuntungan politik—sedangkan Zelensky mencoba mempertahankan pendekatan yang lebih berbasis hubungan dan narasi panjang.

Zelensky menghadapi tantangan besar dalam menghadapi komunikasi politik agresif Trump. Sebagai pemimpin dengan latar belakang komunikasi berbasis hiburan, ia sering mengandalkan narasi panjang dan pendekatan emosional untuk membangun kedekatan.

Salah satu kelemahannya adalah ketidakmampuan untuk membangun framing yang kuat dalam pertemuan ini. Padahal, dalam komunikasi politik, siapa yang mampu mendikte jalannya diskusi sering kali menjadi pihak yang lebih dominan. Jika ingin lebih efektif, Zelensky seharusnya lebih aktif dalam membangun narasi yang jelas sejak awal, tanpa harus menunggu Trump mengambil inisiatif.

Namun, memang di pertemuan itu Zelensky beraada di posisi yang tidak menguntungkan. Trump-Vance berulang kali mencacinya karena sikap tidak bersyukur kepada Amerika selama perang.

Bagaimana Dunia Menyikapi Drama Diplomasi Ini?

Peristiwa pengusiran Volodymyr Zelensky dari Ruang Oval bukan sekadar ketegangan diplomatik biasa. Dunia menyaksikan bagaimana komunikasi yang gagal di tingkat pemimpin negara bisa beriak jauh melampaui meja perundingan.

Tentu, ini bukan hanya soal hubungan bilateral AS-Ukraina, tapi juga soal bagaimana geopolitik global bereaksi terhadap drama komunikasi yang terjadi di panggung utama kekuasaan.

Di mata publik internasional, pertemuan ini seolah menjadi episode lain dari strategi komunikasi Trump yang khas—agresif dan penuh tekanan. Di sisi lain, Zelensky yang datang dengan modal citra sebagai korban invansi Rusia, justru semakin diuji dalam skenario negosiasi yang lebih keras daripada sketsa politik yang pernah ia lakoni di layar kaca.

Media global pun memainkan peran besar dalam membentuk narasi insiden ini. Media AS yang cenderung kritis terhadap Trump menampilkan insiden ini sebagai bukti kegagalan diplomasi yang lebih mementingkan ego dan transaksi ketimbang membangun hubungan jangka panjang.

Sebaliknya, media yang berpihak padanya justru menggambarkan pertemuan ini sebagai langkah strategis untuk menjaga kepentingan nasional AS.

Dari sudut pandang komunikasi politik, insiden ini adalah gambaran nyata bagaimana pertemuan diplomatik di era modern tidak hanya berlangsung di balik pintu tertutup, tetapi juga diperebutkan dalam wacana media dan opini publik.

Komunikasi politik saat ini bukan hanya soal negosiasi antara dua pemimpin, tetapi juga bagaimana pesan mereka dikonstruksi, disebarkan, dan diinterpretasikan oleh berbagai aktor—dari media hingga masyarakat global.

Dalam pertemuan Trump-Zelensky, kita melihat bagaimana strategi komunikasi bisa menentukan bukan hanya hasil diplomasi, tetapi juga bagaimana pemimpin dipersepsikan di mata dunia.

Ryas Ramzi
Ryas Ramzi

Sering menepi di sudut-sudut kota untuk memproduksi ide yang enggak seberapa itu.

guest
0 Comments
Terlama
Terbaru Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments